Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi, dalam doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara.
Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara universal. Ciri demokrasi Pancasila:
pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi
adanya pemilu secara berkesinambungan
adanya peran-peran kelompok kepentingan
adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas.
Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah.
Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.
Kamis, 15 Desember 2011
Sabtu, 03 Desember 2011
Biografi Presiden Soekarno
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi".
Biografi Mohammad Hatta
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.
PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Berikut Biodata dari Mohammad Hatta
Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim
Anak :
* Meutia Farida
* Gemala
* Halida Nuriah
Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986
Pendidikan :
* Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
* Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
* Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
* Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir :
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
* Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
* Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
* Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
* Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
* Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
* Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
* Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
* Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
* Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
* Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
* Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
* Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
* Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.
PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Berikut Biodata dari Mohammad Hatta
Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim
Anak :
* Meutia Farida
* Gemala
* Halida Nuriah
Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986
Pendidikan :
* Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
* Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
* Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
* Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir :
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
* Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
* Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
* Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
* Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
* Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
* Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
* Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
* Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
* Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
* Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
* Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
* Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
* Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)
tugas resensi
AVATAR The Last
Airbender
Synopsis
Movies Avatar The Last Airbender :
Avatar
is an American animated television series aired by taking place in the world of
martial arts and magical elements of nature with Asian influences, the story
follows the adventures after adventures of the successor to the title Avatar
named Aang and his friends on their journey to save the world from the evil
Fire Nation.
Avatar:
The Last Airbender takes place in a fantasy world, where human habitation, a
variety of fantastic beasts, and spirits. Human civilization is divided into
four nations, Tribes Water (Water Tribe), Kingdom of Earth (Earth Kingdom), the
Air Nomads (Air Nomads), and the State Fire (Fire Nation). In every nation
there are those who are called Bender (literally means "bending", but
in this case is considered "controller") who has the ability to
control the natural elements according to their nations. Control the natural
elements of this art is a fusion style of martial arts and magical elements of
nature.
One
hundred years before the start of the series, a twelve-year-old Airbender named
Aang learns he is the new Avatar. Fearful of the heavy responsibilities of the
position, and of separation from his mentor Monk Gyatso, Aang flees from home
on his flying bison Appa, but both are forced by a storm into the ocean,
whereupon Aang's protective Avatar State encases the pair in an iceberg, in
suspended animation. Fire Lord Sozin, who killed the previous Avatar to stop
the latter's aversion of his war plans, begins a genocide of the Air Nomads to
whom Aang belongs; but fails to kill Aang.
One
hundred years after Sozin's time, Katara, a fourteen-year-old Waterbender girl,
and her brother the fifteen-year-old Sokka, free Aang and Appa from the
iceberg. After Aang is revealed to be the Avatar, the three travel to the
Northern Water Tribe from whom Aang and Katara can learn Waterbending. En route
Aang and friends visit the Southern Air Temple, where Aang discovers that the
Fire Nation wiped out the Air Nomads and encounters his predecessor Avatar
Roku. Throughout their journey, the trio are pursued by Prince Zuko, the exiled
son of Fire Lord Ozai, who seeks to reclaim his honor by capturing the Avatar.
Zuko travels with his uncle Iroh, a legendary Fire Nation general and the older
brother of Ozai. Competing with Zuko for the Avatar is Admiral Zhao, who leads
an attack on the Northern Water Tribe. The attack is repelled by Aang and his
friends; but the Fire Lord orders his daughter Azula to capture Zuko and Iroh,
who are now considered traitors to the Fire Nation.
After
leaving the Northern Water Tribe, Aang masters Waterbending under Katara's
tutelage. Searching for an Earthbending teacher, the group meets Toph, a blind
Earthbending prodigy, and recruit her as such. Zuko and Iroh, now fugitives
from the Fire Nation, attempt to lead new lives in the Earth Kingdom, where
Zuko, with the help of his uncle, tries to embrace his troubled past and his
obsession with capturing the Avatar. Aang and his friends discover that an
upcoming solar eclipse will deprive Firebenders of their eponymous ability,
leaving them open to invasion and giving Aang his chance to defeat the Fire
Lord; but in learning this Aang's Sky Bison is lost to a group of Sandbenders.
Azula and her two friends Mai and Ty Lee pursue the protagonists, who struggle
to reach Ba Sing Se, the Earth Kingdom's capital, and tell the Earth King of
the eclipse. Disguised as the Kyoshi Island Warriors (disciples of a previous
Avatar), Azula persuades an elite group of Earthbenders called the Dai Li to
instigate a coup d'état, allowing the Fire Nation to capture Ba Sing Se. In a
final confrontation, Zuko sides with his sister, who promises to restore his
honor. Iroh helps Aang and Katara escape, and is imprisoned by the Dai Li. Aang
attempts to activate the Avatar State; but is hit by Azula's lightning and
dies. He is later revived by Katara.
Aang
recovers to find his allies disguised as Fire Nation soldiers on a Fire Nation
ship, while Zuko has been restored to the position of crown prince and Iroh is
imprisoned as a traitor. Sokka has planned a small-scale invasion of the Fire
Nation to defeat Fire Lord Ozai, taking advantage of the solar eclipse, staged
by various allies encountered in previous episodes. After initial success, the
invasion ultimately fails, and only Aang, Sokka, Katara, and Toph escape. Zuko,
in a change of heart, defies his father and offers to teach Aang Firebending;
later to be accepted as a teammate.
In
the four-part series finale, Aang and his friends confront Fire Lord Ozai, who
plans to use the power of Sozin's Comet to destroy the other nations and rule
the world as the Phoenix King. Iroh, after breaking himself out of prison,
leads the Order of the White Lotus (an international society of martial-arts
masters, including himself and Aang's allies King Bumi, Master Pakku, Master
Piando, and Jeong Jeong) to liberate Ba Sing Se. Sokka, Toph, and Kyoshi
Warrior Suki disable the Fire Nation's airships, preventing them from burning
down the Earth Kingdom, while Zuko challenges Azula. Initially, Zuko gains the
advantage; but when Azula fires a lightning bolt at Katara, Zuko intercepts the
bolt to save her, injuring himself in the process. Katara then restrains Azula
and heals Zuko. Aang, contending with Ozai, is reluctant to kill him; but
eventually overcomes him by depriving him of the ability to manipulate fire.
Zuko is crowned the new Fire Lord and, with the help of the Avatar and his
friends, begins rebuilding the four nations. After Zuko is crowned he goes to
confront his father in prison and demands the location of his banished mother,
while the other protagonists enjoy their victory at Ba Sing Se.
·
Characters :
1.
Aang (Zach Tyler Eisen) is the 12-year-old,
fun-loving, airbending protagonist of the series. Although averse to fighting,
Aang is fiercely protective of his intimates, particularly Katara and Appa. He
is the current incarnation of the planet's psyche, and is therefore required to
act as arbiter among the various peoples. According to the show's creators, the
arrowlike tattoos on his brow and arms mark Aang as an airbending master,
whereas he is the youngest airbender in history to earn them.
2.
Katara (Mae Whitman) is a 14-year-old
Waterbender of the Southern Water Tribe. With her brother Sokka, she accompanies
Aang on his quest to defeat the Fire Lord and, eventually, becomes his
Waterbending master. Katara is the only surviving waterbender of the Southern
Water Tribe and one of only two Waterbenders able to control human bodies by
bending the water therein (an ability used twice in the series). Katara is
usually kind-hearted and generous, but is deeply hurt and often angered by
treachery. In an earlier version of the pilot episode, Katara's name was Kya;
this later is stated to be her mother's name.
3.
Sokka (Jack DeSena) is a 15-year-old warrior
of the Southern Water Tribe. With his sister, Katara, he accompanies Aang on
his quest to defeat the Fire Lord. Sokka describes himself as "meat-loving"
and "sarcastic", and is often a source of comic relief. At the end of
Season 1, Sokka was in love with Yue, the princess of the Northern Water Tribe;
and later shifted his affections to Suki, leader of the Kyoshi Island Warriors.
Unlike his companions, Sokka does not have any bending ability; his skill lies
largely in mechanics, and his chief weapons are a metallic boomerang and a
black jian created from the metals of a meteorite.
4.
Toph Bei Fong (Jessie Flower) is a blind
female Earthbender who first appears in the second season of the show, in which
she is Aang's Earthbending instructor. Though blind, Toph "sees" by
feeling vibrations in the ground through her feet, and can use this ability to
discern the emotions of those around her. She is later shown developing a
method of 'Metal-bending' by detecting impurities in the metal.
5.
Momo (Dee Bradley Baker in both the animated
series and the live-action film)[26] is an intelligent and curious winged
lemur, discovered by Aang at the Southern Air Temple. He often picks fights
with other winged and smaller creatures and with Appa over food. He is capable
of understanding Aang's speech; but less so of understanding others. In
"Tales of Ba Sing Se", Momo’s name was written as (mó mó).
6.
Appa (Dee Bradley Baker in both the animated
series and the live-action film) is Aang's flying bison, who serves as the
protagonists' mode of transport around the world. He remains in suspended
animation with Aang for 100 years, and shares a very strong bond with him. He
possesses the ability to fly and can use his tail to create powerful gusts of
air. According to Aang, flying bison were the first Airbenders.
7.
Zuko (Dante Basco) is the 16-year-old exiled
prince of the Fire Nation and original antagonist of the series. He is
determined and strong-willed, and rarely shows compassion until the third
season. Over time, Zuko struggles to deal with his anger, self-pity, and
complex familial relationships, as well as the choice between good and evil. He
takes on the vigilante identity of "the Blue Spirit" at the end of season
one and beginning of season two. In season three, he defects from the Fire
Nation to join the Avatar. At the end of the series, he is crowned ruler of the
Fire Nation, in which position he ends the war and promises aid in rebuilding
the other nations.
8.
Azula (Grey DeLisle) is the 14-year-old
princess of the Fire Nation. She is Zuko's younger sister and one of the major
antagonists of the series. Azula is a Firebending prodigy and is one of the few
living Firebenders capable of casting lightning. She uses fear to control her
relatives and friends Mai and Ty Lee, reserving her family loyalty for her
father alone. At the end of season three, she loses her sanity altogether and
is defeated by Zuko and Katara.
9.
Suki (Jennie Kwan) is the leader of the young
(and exclusively female) Kyoshi Island Warriors, a sect established by Aang's
predecessor-once-removed. She is an exceptionally skilled fighter and staunch
ally of the protagonists. She was imprisoned by the Fire Nation after the
Kyoshi Warriors were defeated by Azula, but was ultimately released by Sokka,
Zuko, Hakoda, and Chit-Sang. She remained with the protagonists thereafter and
fought with Toph and Sokka to disable the Fire Nation's air force. She was
Sokka's love interest immediately following the end of the War.
10. Iroh
(Mako Iwamatsu in season one and two; Greg Baldwin in season three) is a
retired Fire Nation general, known as the Dragon of the West, and Prince Zuko's
paternal uncle and mentor. Iroh was the heir to the Fire Nation throne until
his brother usurped the throne after Fire Lord Azulon's death. On the surface,
Iroh is a cheerful, kind, optimistic, eccentric old man; but remains a powerful
warrior and a devoted surrogate parent to Zuko. Iroh is a Grand Master of the
Order of the White Lotus, a secret society of men from all nations. Unlike most
Firebenders, Iroh does not use anger as the source of his strength, relying
instead on Firebending secrets learned from the Dragons.
11. Mai
(Cricket Leigh is Zuko's love interest and the friend of Ty Lee. Mai herself
lacks bending, but is agile, swift, and skilled in dart-throwing and
knife-throwing. She assists Azula throughout most of her role; but later
abandons Azula and re-appears only later as Zuko's bride.
12. Ty
Lee (Olivia Hack) is an acrobat hired by Azula against the protagonists,
notable for her appearance of vivacity, innocence, and youth and for her
ability to disable element-benders by obstructing the chi from their limbs.
Having abandoned Azula, she joins the Kyoshi Island Warriors, whom she had earlier
impersonated.
13. Ozai
(Mark Hamill) is the father of Zuko and Azula, younger brother of Iroh, and
ruler of the Fire Nation. Although he is the primary antagonist for the series,
he does not appear until its third season, in which he is defeated by Aang.
NAMA : Agustina dwi christanti (02) / XI
IPA 1
SUMPAH PEMUDA
Sumpah Pemuda (pada tanggal 28 Oktober 1928):
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Senin, 28 November 2011
orde orde di indonesia
Orde lama
Era 1950-1959
adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung
mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.Daftar isi [sembunyikan]
Latar Belakang
Sebelum Republik
Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran
menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga
negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara
Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal
17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem
kabinet parlementer.
Konstituante
Konstituante
diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950.
Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka
Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR
hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.Akhirnya, Soekarno
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante.
Kabinet-kabinet
Pada masa ini
terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil.
Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
1950-1951 - Kabinet
Natsir
1951-1952 - Kabinet
Sukiman-Suwirjo
1952-1953 - Kabinet
Wilopo
1953-1955 - Kabinet
Ali Sastroamidjojo I
1955-1956 - Kabinet
Burhanuddin Harahap
1956-1957 - Kabinet
Ali Sastroamidjojo II
1957-1959 - Kabinet
Djuanda
Dekrit Presiden 5
Juli 1959
Dekrit Presiden 5
Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan
kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin
Isinya ialah: Kembali
berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
Pembubaran
Konstituante
Pembentukan MPRS dan DPAS
Orde Baru adalah sebutan bagi
masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde
Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh
Soekarno pada masa Orde Lama. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal
ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini.
Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar.
Masa Jabatan Presiden Suharto
Pada 1968, MPR
secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan
dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998.
Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru"
dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar
negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya.
Salah satu
kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya. Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama
atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi -
dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia.
Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk
mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau
Buru. Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui
pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk
menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks
tapol).
Orde Baru memilih
perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan
MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari
kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD
juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah. Soeharto siap
dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep
akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada
satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan
Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto
mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber
daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan
1980-an.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya
berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus
hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek,
dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan
oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang
mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga
ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin
dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan
untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat
kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang
Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde
Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang
lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan
dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan
apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan
dilakukan[rujukan?].
Orang Tionghoa
dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Konflik Perpecahan
Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan
bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi
mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara
yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah
yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang
tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak
semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era
Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak
di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan
terhadap para transmigran.
==
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru ==
Perkembangan GDP
per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari
AS$1.565
Sukses transmigrasi
Sukses KB
Sukses memerangi
buta huruf
Sukses swasembada
pangan
Pengangguran
minimum
Sukses REPELITA
(Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Sukses Gerakan
Wajib Belajar
Sukses Gerakan
Nasional Orang-Tua Asuh
Sukses keamanan
dalam negeri
Investor asing mau menanamkan
modal di Indonesia
Sukses menumbuhkan
rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
== Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
==
* Semaraknya
korupsi, kolusi, nepotisme
* Pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan
karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
* Munculnya rasa
ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di
Aceh dan Papua
* Kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
* Bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
* Pelanggaran HAM
kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
* Kritik dibungkam
dan oposisi diharamkan
* Kebebasan pers
sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
* Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan
Misterius"
* Tidak ada rencana
suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
* Menurunnya
kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal
ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara
pasti hancur.
* Menurunnya
kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
* Pelaku ekonomi
yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh
swastaDaftar isi [sembunyikan]
Krisis finansial Asia
Pada pertengahan
1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas
lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun
terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.
Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para
demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri
Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti
ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk
menjadi presiden ketiga Indonesia.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto
dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde
Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih
belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh
kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era
Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet
dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan
pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
Era Pasca Soeharto
atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil
presiden BJ Habibie.
Latar belakang
Krisis finansial
Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak
puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ
aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan
Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun
meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam
maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari
jabatannya.
1998 Krisis
ekonomi dan Kerusuhan Mei 1998
1999 Kekerasan
etnis/agama terjadi di Maluku. Pemisahan Timor
Timur menjadi negara merdeka melalui referendum yang disponsori oleh PBB;
konflik antar pro-kemerdekaan dan pro-Indonesia menimbulkan banyak korban jiwa. Pemilu 1999 - Pemilihan umum yang bebas
diselenggarakan di Indonesia. Pengangkatan
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden
Pada pemilu yang
diselenggarakan pada 1999 (lihat: Pemilu 1999), partai PDI-P pimpinan Megawati
Soekarnoputri berhasil meraih suara terbanyak (sekitar 35%). Tetapi karena
jabatan presiden masih dipilih oleh MPR saat itu, Megawati tidak secara
langsung menjadi presiden. Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB, partai dengan suara
terbanyak kedua saat itu, terpilih kemudian sebagai presiden Indonesia ke-4.
Megawati sendiri dipilih Gus Dur sebagai wakil presiden.
Masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid diwarnai dengan gerakan-gerakan separatisme yang makin
berkembang di Aceh, Maluku dan Papua. Selain itu, banyak kebijakan Abdurrahman
Wahid yang ditentang oleh MPR/DPR.
2000 Skandal
Buloggate dan Bruneigate menerpa pemerintahan Gus Dur
Kasus pemeriksaan
dugaan korupsi mantan presiden Soeharto kandas
Papua Barat (yang
dulu disebut dengan Irian Jaya) menuntut referendum seperti Timor Timur
2001 Kekerasan
antar etnis Dayak dan Madura terjadi di Kalimantan
IMF menghentikan
bantuan moneternya
2002 Januari : Pemerintah Indonesia meresmikan komisi pelanggaran HAM untuk memeriksa
dugaan pelanggaran HAM pada pemisahan Timor Timur 1999
Irian Jaya diberi
kekuasaan otonom oleh Jakarta dan diperbolehkan berganti nama menjadi Papua
2003 3 Februari -
sebuah bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta.
Tidak ada korban jiwa.
2004 10 Januari -
sebuah bom meledak di sebuah kafe di Palopo, Sulawesi menewaskan empat orang. April - Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD Indonesia 2004
Pemilihan umum
parlementer dan daerah. Golkar memenangi suara terbanyak, disusul oleh PDI-P
Juli - Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2004 Indonesia menyelenggarakan
pemilu presiden secara langsung pertamanya. Megawati menyatakan
pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004,
maju ke Pemilu 2004 dengan harapan untuk terpilih kembali sebagai presiden.
Ujian berat
dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima mayoritas
penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama
Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan Megawati. Partai Demokrat
yang sebelumnya kurang dikenal, menarik perhatian masyarakat dengan
pimpinannya, Yudhoyono, yang karismatik dan menjanjikan perubahan kepada
Indonesia. Pemilihan putaran pertama menyisihkan kandidat lainnya sehingga yang
tersisa tinggal Megawati dan SBY.
2005 6 Januari -
Di Jakarta, Indonesia diadakan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Tsunami yang
dihadiri banyak pemimpin dunia seperti Menlu AS; Colin Powell, Sekjen PBB; Kofi
Annan dan lain lain untuk membahas dampak dan menolong korban gempa bumi
Samudra Hindia 2004.
2006 Januari 1 - Banjir
bandang menewaskan 63 orang di Jember, Jawa Timur.
2007 Januari 1 Januari - Malam
tahun baru terjadi musibah Adam Air Penerbangan 574 yang hingga kini masih
menyisakan misteri. Seluruh penumpang dan awak pesawat tidak pernah diketemukan
jenasahnya dan dianggap meninggal.
2008 27 Januari -
Mantan presiden Soeharto meninggal dunia karena komplikasi kesehatan.
2009 9 April -
Pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD dilakukan secara serentak di seluruh
Indonesia. Pemenangnya adalah Partai Demokrat, Golkar dan PDIP.
2010 14 April -
Kerusuhan terjadi di Koja, tepatnya di areal makam Mbah Priok dan sekitarnya,
melibatkan Satpol PP dan warga, mengakibatkan sedikitnya tiga orang tewas dan
ratusan luka-luka.
2011 Januari 28 Januari -
Terjadi tabrakan kereta api antara KA Mutiara Selatan dengan KA Kutojaya
Selatan di Stasiun Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Dalam peristiwa
tersebut setidaknya tiga orang tewas dan 26 orang lainnya terluka. 28 Januari -
Setidaknya 13 orang tewas setelah KMP Teduh Laut II yang mengangkut 438
penumpang dan 31 kru kapal terbakar di 3 mil dari Pelabuhan Merak.
budaya politik
Di dalam gambar tersebut dapat diketahui
bahwa sedang ada sebuah pembelajaran di sebuah kelas. Seorang guru sedang
menjelaskan kepada muridnya. Dan dapat diketahui ternyata guru tersebut sedang
mengajar materi Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) tentang budaya politik.
Siswa di kenalkan dan lebih mendalami
tentang dunia politik. Guru menerangkan apa itu arti budaya politik, macamnya, tipe-tipenya,
dan juga bagaimana saja sosialisasi untuk mengembangkan budaya politik.
Diharapkan menjadi penerus bangsa untuk kemudian hari.
Dan
dari ilustrasi atau gambar di atas kita dapat tahu itu merupakan salah satu
contoh bentuk sosialisasi pengembangan budaya politik di Indonesia melalui
sebuah pembelajaran dalam pelajaran Pkn di setiap sekolah.
Kegiatan
tersebut sangat bagus karena di sekolah dalam pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (Pkn), siswa dan gurunya dapat bertukar informasi dan berinteraksi
dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik
teoritis dan praktis. Sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuan awal tentang
kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dalam sudut pandang akademis.
Jadi,
jika sosialisasi politik tadi dapat dilaksanakan dengan baik, maka suatu hari
nanti, saat para siswa sudah terjun di masyarakat dalam kehidupan politik
kenegaraan, mereka dapat melahirkan budaya politik yang bertanggung jawab. Ini
berarti tanggung jawab mereka sesuai dengan hak dan kewajibannya., yaitu
bagaimana dirinya mampu berperan dan berpatisipasi dalam kehidupan politik
kenegaraan atas kesadaran politik yang baik dan tinggi.
Dapat
diketahui juga bahwa tolak ukur keberhasilan sosialisasi terletak pada sejauh
mana pendidikan politik yang telah dilakukan (termasuk saat di sekolah),
sehingga dapat menghasilkan masyarakat yang telah mempunyai kesadaran politik
dan budaya politik “etis” dan “normatif” dalam mewujudkan partisipasi politik.
Itulah bagaimana pentingnya pendidikan
di sekolah terhadap budaya politik.
Kita
tahu Indonesia adalah Negara yang luas dan memiliki kekayaan hasil alam yang
melimpah. Akian tetapi jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011
mencapai 30,02 juta orang atau 12,49% dari total penduduk Indonesia. Haruslah
hasil bumi itu di pergunakan untuk pendidikan di negeri ini.
Jadi
jika ingin rakyatnya sadar dan bertanggung jawab terhadap budaya berpolitik,
haruslah pemerintah menyediakan pendidikan yang layak untuk anak-anak dari
warga yang tidak mampu. Mereka juga layak mendapatkan pendidikan, apalagi
pendidikan tentang budaya berpolitik. Karena merekalah generasi penerus bangsa,
yang akan memajukan Negara ini.
Minggu, 27 November 2011
demokrasi
demokrasi di indonesia
Secara
etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani,
yaitu kata “demos” yang berarti rakyat atau penduduk dan “kratein” yang berarti
memerintah atau “kratos”. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan Negara
dimana kedaulatan berada ditangan rakyat,kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh
rakyat (democracy is government of the people, by the people, for the people).
Ada dua asas pokok tentang demokrasi, yaitu sebagai berikut :
a. Pengakuan partisipasi rakyat di dalam pemerintahan.
b. Pengakuan hakikat dan martabat manusia HAM
Hakikat demokrasi adalah sebagai berikut :
Mengandung
pengertian bahwa Pemerintahan sah dan diakui di mata rakyat. Pemerintahan sah
dan diakui berarti suatu pemerintahan yang berkuasa mendapat pengakuan dan
dukungan dari rakyat.
Mengandung
pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat,
bukan atas dorongan diri dan keinginan sendiri.
Mengandung
pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah untuk
kepentingan rakyat, bukan kepentingan rakyat atau golongan.
System demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat
dalam pengambilan keputusan urusan kenegaraan secara langsung, Contoh :
demokrasi di Negara Atena.
System demokrasi dimana rakyat ikut serta dalam
pemerintahan melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilu.
Demokrasi
merupakam kekuasaan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah memberikan pengertian kepada kita
bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan. Pemerintah terpadat batasan-batasan dalam
pelaksanaannya. Pembatasan tersebut berhubungan dengan pembagian kekuasaan
pemerintah teori trias politika yang di kemukakan oleh Montesquieu (Prancis).
Menurutnya kekuasaan negara dalam melaksanakan kedaulatan
atas nama seluruh rakyat untuk menjamin, kepentingan rakyat harus terwujud dalam
pemisahaan kekuasaan lembaga-lembaga negara, antara lain sebagai berikut:
1) Kekuasaan Legislatif yaitu kekuasaan
pembuat undang-undang.
2) Kekuasaan Eksekutif yaitu kekuasaan
melaksanakan undang-undang.
3) Kekuasaan Yudikatif yaitu kekuasaan
untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh badan peradilan.
Keterlibatan
Warga Negara dalam pemerintahan terutama ditunjukkan untuk mengendalikan
rtingkah laku para pemimpin politik. Contohnya dalam pelaksanaan pemilu.
Dalam
mewujudkan kehidupan yang demokratis, hamper setiap warga Negara senantiasa berusaha
memberikan keadilan diantara warga negaranya. Keadilan tersebut meliputi
berbagai bidang kehidupan, diantaranya keadilan dibidang politik, keadilan di
muka hokum, keadilan mendapatkan kesempatan pendidikan, dan sebagainya.
Budaya demokrasi adalah sikap dan
pola prilaku masyarakat atau warga dalam mempraktikkan konsep pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat, misalnya menyelesaikan persoalan melalui
permusyawaratan, menghormati berbagai pendapat yang berbeda dan
mempertimbangkan serta memahaminya, mengajak segenap lapisan masyarakat dan
berbagai komponen yang ada untuk berpatisipasi aktif dalam pemerintahan, dan
sebagainya.
Langganan:
Postingan (Atom)